Keberlimpahan materi mungkin adalah bukan satu-satunya hal konkrit yang sangat jauh dari jangkauan kami selama ini. Kami -aku dan ibu- tinggal disebuah rumah panggung berukuran 'pas-pas-an' yang terbuat dari bambu reot yang diikat satu sama lainnya. 'Rumah pondok' begitu aku menyebutnya, meskipun bagi kebanyakan orang rumah ini lebih terlihat seperti kandang kambing yang dimodifikasi.
Benda paling mahal dan berharga satu-satunya didalam rumah panggung bambu kami yang sepertinya sudah harus pensiun ini adalah sebuah televisi ber-inchi kecil yang aku dapatkan setelah dengan sukses -dibantu kedua sahabatku Putri dan Bowo- memenangi lomba makan kerupuk, tarik tambang, berenang dan panjat pinang secara berkelanjutan atau bahasa kerennya secara triathlon tanpa isirahat pada 17 Agustusan tahun lalu. Akan tetapi -si televisi itu- sekarang hanya bisa terduduk lesu diatas dipan kayu tipis di dekat tumpukan cucian kotor karena listrik dikampung kami juga sepertinya tidak suka berlama-lama berada dikampung ini karena mungkin hawa kemiskinan yang dirasa tidak cocok dengan listrik yang sudah sedari dulu merupakan teman para orang mampu yang berkecukupan.
Benda 'rongsok' lainnya dirumah hanyalah bertumpuk-tumpuk koleksi buku bersampul coklat yang menjulang tinggi hampir sedikit lebih tinggi dari tubuhku yang hanya 160 cm. Barang 'berharga' lain dirumah panggung kami adalah sebuah lemari pakaian warna coklat setinggi satu setengah meter disudut kamar sana, dua lembar sajadah yang dulu berwarna orange pekat yang sekarang sudah minggat warnanya, kemudian ada baju seragam dinas yang pernah dipakai oleh ibu sewaktu masih bekerja sebagai tenaga guru pengajar pembantu di sebuah sekolah di Aceh sana pasca tsunami, tak banyak yang aku ketahui mengenai hal yang satu ini.
Baju kebesaran penuh kenangan dan jiwa besar ibu itu tergantung rapih disisikanan lemari warna coklat tadi. Dan dengan sedikit usaha ekstra, -karena sudah mulai kabur tulisannya- dapat kubaca name tag yang mulai berkarat itu secara berkelas bertuliskan -Kusmaryati Rahayu, Volunteer- tergantung disisi kanan lemari, lalu ada beberapa plastik-plastik hitam kresek yang biasa ibu bawa saat ada pembagian jatah sembako disaat musim pemilu tiba diladang dekat balai desa.
Dan yang terakhir adalah sebuah sepeda ontel kesayangan yang digunakan ibu selama ini untuk mengangkut pecahan batu kali, sayur mayur, buku-buku bekas pemberian atau bahkan temuan, sampai aku juga pernah diangkutnya dikeranjang depan sepeda berpita biru itu.
Bicara mengenai pendidikan? Aku bahkan sama sekali tidak pernah bersekolah, meskipun biaya sekolah gratis dikampungku, tapi biaya persemester yang ada-lah masalahnya, kami hidup sedikit berada agak dibawah garis kemiskinan. Meskipun tersirat sebuah kemauan besar untuk menggelutinya selama ini, faktor ekonomilah penghambatnya sekali lagi kawan.
Dengan mengikuti sekolah maka secara tidak langsung ibu akan terikat pada sebuah komitmen selama bertahun-tahun untuk menyekolahkan aku sampai tuntas dan itu bukan mudah. Ekonomi-lah biang keladinya. Tapi aku sadar dan tidak menyesali keadaan hidup seperti ini. Karena di sekolah kehidupan kudapati segala materi pendidikan selama ini. Ibu selalu berkata padaku setelah sholat berjamaan dirumah, ''Tuhan Maha adil nak, camkam itu baik-baik, Maha adil, ingat'' Aku mengangguk pelan takjub pada ibuku yang terduduk diatas sajadah luntur murahan itu.''
***
Keluarga bagiku adalah tentang sebuah kerja keras yang dilakukan secara menerus dengan bangun disetiap awal hari menyongsong gelapnya pagi mendahului ayam peliharaan tetangga yang berkokok disetiap pagi, yang mana -ayam-ayam itu- seringkali di lepaskan oleh Dodo anak tetangga yang tinggal empat rumah dari rumah pondokku. Mengidap penyakit saraf sedari kecil membuat dia tak banyak cakap tapi banyak berbuat. Yang mana perbuatannya 90% selalu membuat setiap orang geleng-geleng kepala minta ampun. Salah satu contoh nyatanya adalah ritual pelepasan ayam tetangganya sendiri disetiap pagi di hari rabu dan kamis.Oh ya dia adalah teman mainku sehari-hari. Salah satu partner in crime ku.
Kemudian, selain bangun pagi disetiap pagi aktifitas selanjutnya adalah membantu ibu mengurusi kebun petak nan tanggung ukurannya milik tetangga dimana aku dan ibu menjadi tenaga pengurusnya. Biasanya kami akan berada dikebun tanggung itu sampai pada diposisi dimana sang matahari tepat berada vertikal sejajar dengan punggungku yang menghadap langit. Menyengat dan secara perlahan menyembulkan peluh disekujur tubuh. Lalu sebagai penutup, aku dan ibu masih harus bersama-sama menahan diri menahan kantuk untuk tidur setelah bekerja seharian penuh karena aku dan ibu masih harus bekerja.
Aku dimalam hari bekerja sebagai penjaga kolam ikan patin milik orang lain, dan ibu dia harus berkeliling dengan sepeda ontelnya di sekitaran daerah kumuh dimana kami tinggal untuk berjualan kue-kue pasar. Lalu setelah selesai bertugas dan pulang, maka kami akan melakukan ibadah malam dulu sebelum akhirnya tidur dan bangun pagi lagi. Itulah keluarga bagi dan menurutku. Keluarga adalah partner pemberian Tuhan yang akan bersama-sama berjuang menyongsong hidup bersama, menahan lapar bersama, dan saling mengingatkan tanpa harus mempertanyakan apa dan kenapa mesti seperti itu.
Dan kawan, jika kemudian kalian tanyakan padaku mengenai kesenangan, maka kawan, akan kujawab dengan lantang dan keras-keras.
Bagiku sebuah kesenangan adalah memiliki ibu dalam hidupku. Dialah pusat galaxy ku. Orbit terdalam di planet hidup ku. Setitik cahaya didalam gua yang dalam. Harapan.
Bersamanya tidak mungkin adalah hal asing, bersamanya dapat kurasakan sosok keluarga lengkap yang tidak aku miliki selama ini, mereka disana, tersenyum dan siap memelukku jauh dari dalam mata teduh milik ibu. Tanpanya aku tak hilang ditelan pahitnya kenyataan.
Dan satu hal lain yang kusebut sebagai kesenangan adalah memiliki impian. Dengan impian bisa kurasakan tanganku menjamah setiap sudut dunia. Kemiskinan yang telah membedongku semenjak bayi terasa bagaikan hembusan angin selatan yang tak memiliki arti dan berlalu begitu saja.
Singkat kata aku adalah teman kemiskinan. Atau kemungkinan besar adalah saudara jauh.

HHmmm .. boleh nanya??? apa yg dsebut miskin??? dan apa yg dsebut kaya????
BalasHapuskayanya lo salah nangkep isi dari bacaan ini deh. memang judulnya sangat sensitif tapi kalau dibaca lagi ini lebih ke bersyukurnya si tokoh aku ditengah kemiskinan yang dia anggap temannya. coba dibaca lagi deh, dicermati. Read before u criticize :))
HapusMangkax gw nanya' fi.... mnurut gw, nggak da kaya/miskin... smw sama aja... tergantung qt ngeliatx gimana....
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus