Dua sepeda ontel tua terlihat sekelebatan menyusuri jalan disisi sawah yang baru saja selesai dipanen dua hari yang lalu. Keduanya saling mengejar satu sama lain dengan kecepatan penuh. Sadel-sadel sepeda dikayuh dengan cepat sampai membentuk putaran silver tak terputus.
Kedua sepeda yang melaju cepat itu saling memecah angin, menembus bias cahaya pagi yang menukik tajam keatas tanah melalui celah bambu-bambu yang tumbuh berhimpitan itu. Tiga anak penunggang sepeda ontel itu bermandikan peluh yang meleleh pelan melalui pori kulit mereka. Seragam sekolah mereka lepek dimakan keringat. Tiga sahabat miskin harta tapi berlimpah impian dan haus akan pendidikan itu saling berkejaran dengan sepeda ontel tua mereka. Berusaha saling mendahului satu sama lain untuk menuju sebuah tempat di desa ini dimana sang impian sedang menanti mereka tiba. Sekolah.
''Kayuh lebih cepat kawan, Putri sudah jauh meninggalkan kita. Jangan mau kalah! Apa kau mau dikalahkan dia lagi?''.
Bertugas sebagai navigator balapan, pengomando sekaligus tukang komplain adalah sahabatku Bowo dibelakang. Dia terduduk gelisah diatas jok belakang sepeda tua-ku yang tipis dan hanya berlapis karton itu. Sesekali pantat teposnya naik turun meninggalkan jok belakang sambil diremasnya pundakku kuat sepanjang perjalanan. Dia -Bowo- gelisah karena merasa tugas mulianya sebagai navigator sepeda kelas kampung sangat dipertaruhkan saat ini. Dan bila kembali kalah maka ini akan menjadi kekalahan kami sepuluh kali secara beruntun oleh orang yang sama bila diruntut dalam dua minggu kebelakang. ''Bila kalah lagi pensiunlah aku'', mungkin begitu fikirnya.
''Aku mengerti, tapi asal kau tahu badan kurusmu secara gaib terasa berat sekali Wo. Sadel sepedaku terasa macet denganmu berada diboncengan sana. Apa kau tahu itu?'' aku -dengan susah payah sambil memburu nafas- berusaha memberitahukan bahwa bukan aku yang mengayuh sepedanya terlalu lemah, tapi berat badan Bowo yang tidak masuk akal itulah salah satu faktor lain tertinggalnya kami dari Putri si tomboi yang anggun itu selain faktor sepeda kami yang memang berbeda kualias kecepatannya dan si gadis cantik yang memang terkenal lincah bagai kancil.
''Sudahlah kawan tak ada gunanya kau mengeluh dan menyalahkan gravitasi, Putri sudah semakin menjauh dengan sepeda konyol yang dia beri nama Sepeda Super Spesial 007 nya itu. Malu kita kalau sampai harus kalah telak lagi. Malu kawan.'', jawabnya cepat sambil mengalihkan topik badan kurus yang entah kenapa berat miliknya dengan mengangkat topik lain mengenai martabat dan rasa malu. Aku sangat tahu bahwa Bowo sebenarnya juga heran mengenai badan kurus kurang gizi tapi berat-nya itu bila diperhatikan dari usahanya mengganti topik pembicaraan dan pemilihan kata yang dia gunakan sebagai sanggahan atas tuduhanku tadi.
Dengan perasaan agak gondok kulihat sahabat cerewet dibelakangku ini yang sedari tadi tak hentinya mengeluh dan menyuruhku layaknya kuda beban mengayuh sepeda ini. Kulihat dia dengan mata terpejam, tangan yang terbentang serta selangkangan yang mengapit kuat jok tipis dibelakang seperti sedang menahan buang air berteriak berulang-ulang tanpa maksud yang jelas.
Lalu bukan karena celoteh, komplain ataupun pose Titanic Bowo tadi, tapi aku -entah kenapa dan tanpa alasan yang jelas- tersulut untuk memacu sepeda ini lagi dan lagi. Namun bukan lagi untuk mengalahkan Putri melainkan untuk menjemput pendidikan kami yang hanya berjarak dua tikungan lagi.
''Hei apa ini saja kemampuan kalian sebagai lelaki??? berakhir dengan dikalahkan oleh seorang perempuan hampir disetiap pagi? hahahahaha'', Putri -seperti biasa- kembali memanas-manasi kami agar kami tidak menyerah begitu saja, walaupun dia sebenarnya sudah tahu bawa kami pasti akan dikalahkan juga olehnya nanti. Dengan wajah yang menurut kami terlalu cantik untuk seorang perempuan bengal sepertinya, dia balikan kepalanya sesekali untuk memanasi kami. Dilihat dari ekspresi wajahnya bisa kulihat bahwa dia mengetahui kemenangan sudah berada ditangannya.
Dengan motivasi tambahan yang kemungkinan besar datang dari rasa ketidaksabaran untuk bersekolah, sedikit demi sedikit bisa kupangkas jarak sepeda kami. Kami kemudian melakukan manuver zig-zag dengan kecepatan penuh sambil kami juga mengindari jalan berbatu yang berpotensi menjungkalkan kami tanpa ampun. Bowo mencengkram pundakku erat menyelamatkan diri dari kemungkinan terhempas ke pinggir drainase persawahan itu, dan juga -tentunya- dari kemungkinan terperosok sendirian kesana. Bisa kutangkap maksud cengkramannya. Berdua lebih baik.
Dengan kecepatan seperti ini kami sudah tinggal dua tikungan lagi sebelum sampai sekolah. Kami -aku, Bowo dan Putri- yang mengetahui bahwa garis finis sudah dekat secara otomatis mempercepat laju sepeda. Kompetisi selalu menarik pada menit-menit akhir kawan, kalian tahu hal ini.
Sekitar satu tikungan terakhir sebelum kami sampai dibatas desa -disaat kompetisi sedang klimaks- bisa kudengar suara sepeda tua yang kutunggangi mulai ngambek. Aku secara sepihak sudah melampaui batas kemampuan daya terjang sepeda ini. Komando dan hasutan Bowo lah penyebab utamanya.
Body sepedaku mulai bergetar hebat, keranjang sepeda mulai bergerak tak keruan -baut-bautnya mulai mengisyaratkan keinginan melepaskan diri dari posisi awalnya, suara komando Bowo mulai terdengar sengau dan tidak jelas karena mulutnya ditabrak angin. ''Hwwahhhyoo khhaawaannhh seddikkkhittth lagggkhiiih'', begitu kudengar bunyi komando terakhir Bowo. Dalam keadaan seperti ini wajah desanya semakin terlihat tertinggal oleh jaman. Jelek sekali.
Lalu.
''TRRAKKH''. Dengan tanpa kompromi putus-lah rantai sepeda kami . Putus menjadi tiga sekaligus.
Seiring putusnya rantai sepeda kami, laju sepeda menjadi semakin lambat, sadel sepeda kami berhenti berputar dan Putri saat itu kami lihat sudah melewati tikungan terakhir dengan gaya lepas tangan andalannya.
Kami kalah telak. Dikalahkan orang yang sama.
Sepuluh kali berturut-turut.
Sambil kutuntun sepeda kudengar Bowo mengaduh, menyesali kekalahan ini akibat kesalahan teknis seperti ini. Berulang dia katakan bahwa kami tadi hampir menyalip Sepeda Super Spesial 007 milik Putri tepat sebelum rantai sepeda kami menyudahi kompetisi ini. Menurutnya kami layak menang.
Suara keluh kesah serta penyesalan Bowo kemudian hanya menjadi suara latar saja, setelah kulihat bangunan bercat krem dengan noda tanah dan garis air sekitar 30 cm dari atas tanah bekas banjir tahunan beberapa saat lalu tlah berdiri tegap tepat dibalik tikungan terakhir tempat kekalahan kesepuluh kami terjadi.
Diantara sela pohon petai cina ditikungan terakhir itu bisa kulihat tempat dimana masa depan menunggu kami. Tempat kompetisi sesungguhnya akan terjadi. Sekolah gratis kami.
Dari sini -dari tempat kuberdiri- bisa kucium harumnya pendidikan.
nice story brow....
BalasHapusblog walking...blognya udah saya follow atas nama "moerad".....follow back ok,,,salam kenal
okeh akan difollow secepatnya, makasih udah baca dan berkunjung ke blog ini.
Hapusnice blog bro... udah ane follow. follbeck ya di triyan-arief.blogspot.com
BalasHapusokeh akan difollow secepatnya, makasih udah baca dan berkunjung ke blog ini. (copas banget kaya comment diatas) hehe
Hapusmakasih, sering-sering mampir ya
BalasHapusKeren bang... Follback yaa... :D
BalasHapusmakasih ya, sering-sering mampir
Hapuswah2.. gw ketinggalan nih.... ini dposting 1 bulan yg lalu.... keren fi... ^^"
BalasHapusmasih outline ini vi, tapi makasih udah mau baca ya
Hapuswahh, walaupun sibuk ttp terus nulis dsini ya... dn smpetin mampir kblog v juga ya... ^^"
HapusDisempatin vi
Hapus